He was popular for his gritty-witty ballads accentuated on life of Indonesia's marginalized groups or political satire on the troubled Indonesian social/political scene under Soeharto. His socially aware hit-songs including: "Oemar Bakri" tells about teacher, "Lonteku" is a love story between a criminal and a prostitute, and "Wakil Rakyat" is about members of parliament.
After Reformasi movement on 1997 which leads to democratisation he was a kind of losing the edge for political satire, but his mature musical experience keeps him on Indonesian pop chart with inward-looking songs and songs about personal relationships.
Ujung Aspal Pondok Gede
Iwan Fals Lyrics
Jump to: Overall Meaning ↴ Line by Line Meaning ↴
di bale bambu buah tangan bapakku
di rumah ini aku dibesarkan
dibelai mesra lentik jari ibuku
nama dusunku ujung aspal pondok gede
rimbun dan anggun
ramah senyum penghuni dusunku
bapak punya
ladangnya luas habis sudah sebagai gantinya
sampai saat tanah moyangku
tersentuh sebuah rencana
demi serakahnya kota
terlihat murung wajah pribumi
terdengar langkah hewan bernyanyi
di depan masjid
samping rumah wakil pak lurah
tempat dulu kami bermain
mengisi cerahnya hari
namun sebentar lagi
angkuh tembok pabrik berdiri
satu persatu sahabat pergi
dan tak kan pernah kembali
The song "Ujung Aspal Pondok Gede" by Iwan Fals describes the singer's childhood memories of growing up in a village called Ujung Aspal Pondok Gede. He was born in a small room in a bamboo house that was built by his father. He was raised in this house, surrounded by the loving and caring presence of his mother's tender fingers caressing his head.
The village was a beautiful place, with lush greenery and friendly residents. The singer recalls his father owning nine goats and three motorcycles, while also remarking on the vast fields he used to own that have now been replaced by industrial factories due to the city's greed. The song takes on a more somber tone as the singer talks about the destruction of his village and the loss of his childhood friends. The once peaceful village now only echoes with the sound of industrial machines and the painful cries of the animals who have lost their habitats to the concrete jungle.
The lyrics of the song are a commentary on the destructive nature of industrialization and the permanent changes it brings to the natural world. The singer's memories of his childhood village reflect a time when life was simpler, people were happier, and nature was allowed to thrive. The song is a poignant reminder that progress must not come at the cost of human and animal well-being, and that we must preserve our forests, fields and rivers if we wish to protect our heritage.
Line by Line Meaning
di kamar ini aku dilahirkan
This is the room where I was born
di bale bambu buah tangan bapakku
My father built this house with bamboo
di rumah ini aku dibesarkan
I was raised in this house
dibelai mesra lentik jari ibuku
My mother always lovingly touched my hair
nama dusunku ujung aspal pondok gede
My village is called 'Ujung Aspal Pondok Gede' which is beautiful and peaceful
rimbun dan anggun
The place is full of beautiful greenery
ramah senyum penghuni dusunku
The people in my village are friendly and always smiling
kambing sembilan motor tiga
My father owned nine goats and three motorcycles
bapak punya
They belong to my father
ladangnya luas habis sudah sebagai gantinya
My father sold his land to buy the motorcycles
sampai saat tanah moyangku
Until now, my ancestral land
tersentuh sebuah rencana
Was affected by a plan
demi serakahnya kota
Driven by the greed of the city
terlihat murung wajah pribumi
The native people looked sad
terdengar langkah hewan bernyanyi
The sound of animals singing can be heard
di depan masjid
In front of the mosque
samping rumah wakil pak lurah
Next to the house of the village head
tempat dulu kami bermain
The place where we used to play
mengisi cerahnya hari
To fill our days with joy
namun sebentar lagi
But soon
angkuh tembok pabrik berdiri
A proud factory wall will stand
satu persatu sahabat pergi
One by one, my friends will leave
dan tak kan pernah kembali
And they will never come back
Contributed by Jonathan F. Suggest a correction in the comments below.
@billybagusgmacademy6350
lirik:
Di kamar ini, aku dilahirkan
Di balai bambu buah tangan bapakku
Di rumah ini, aku dibesarkan
Dibelai mesra lentik jari Ibu
Nama dusunku Ujung Aspal Pondok Gede
Rimbun dan anggun, ramah senyum penghuni dusun
Kambing sembilan, motor tiga bapak punya
Ladang yang luas habis sudah s'bagai gantinya
Sampai saat tanah moyangku
Tersentuh sebuah rencana
Dari serakahnya kota
Terlihat murung wajah pribumi
Terdengar langkah hewan bernyanyi
Di depan masjid, samping rumah wakil Pak Lurah
Tempat dulu kami bermain, mengisi cerahnya hari
Namun, sebentar lagi angkuh tembok pabrik berdiri
Satu per satu sahabat pergi dan takkan pernah kembali
Sampai saat tanah moyangku
Tersentuh sebuah rencana
Dari serakahnya kota
Terlihat murung wajah pribumi
Terdengar langkah hewan bernyanyi
@MVIKYA.M-nu4lw
Di kamar ini, aku dilahirkan
Di balai bambu buah tangan bapakku
Di rumah ini, aku dibesarkan
Dibelai mesra lentik jari Ibu
Nama dusunku Ujung Aspal Pondok Gede
Rimbun dan anggun, ramah senyum penghuni dusun
Kambing sembilan, motor tiga bapak punya
Ladang yang luas habis sudah s'bagai gantinya
Sampai saat tanah moyangku
Tersentuh sebuah rencana
Dari serakahnya kota
Terlihat murung wajah pribumi
Terdengar langkah hewan bernyanyi
Di depan masjid, samping rumah wakil Pak Lurah
Tempat dulu kami bermain, mengisi cerahnya hari
Namun, sebentar lagi angkuh tembok pabrik berdiri
Satu per satu sahabat pergi dan takkan pernah kembali
Sampai saat tanah moyangku
Tersentuh sebuah rencana
Dari serakahnya kota
Terlihat murung wajah pribumi
Terdengar langkah hewan bernyanyi
@CampursariID
RINGKASAN
LIRIK
DENGARKAN
ORANG LAIN JUGA MENELUSURI
1 dari 4
2 dari 4
Di kamar ini aku dilahirkan
Di balai bambu buah tangan bapakku
Di rumah ini aku dibesarkan
Dibelai mesra lentik jari ibu
Nama dusunku Ujung Aspal Pondok Gede
Rimbun dan anggun ramah senyum penghuni dusun
Kambing sembilan motor tiga bapak punya
Ladang yang luas habis sudah sebagai gantinya
Sampai saat tanah moyangku
Tersentuh sebuah rencana
Dari serakahnya kota
Terlihat murung wajah pribumi
Terdengar langkah hewan bernyanyi
Di depan masjid samping rumah wakil pak lurah
Tempat dulu kami bermain mengisi cerahnya hari
Namun sebentar lagi angkuh tembok pabrik berdiri
Satu per satu sahabat pergi dan takkan pernah kembali
Sampai saat tanah moyangku
Tersentuh sebuah rencana
Dari serakahnya kota
Terlihat murung wajah pribumi
Terdengar langkah hewan bernyanyi
@billybagusgmacademy6350
lirik:
Di kamar ini, aku dilahirkan
Di balai bambu buah tangan bapakku
Di rumah ini, aku dibesarkan
Dibelai mesra lentik jari Ibu
Nama dusunku Ujung Aspal Pondok Gede
Rimbun dan anggun, ramah senyum penghuni dusun
Kambing sembilan, motor tiga bapak punya
Ladang yang luas habis sudah s'bagai gantinya
Sampai saat tanah moyangku
Tersentuh sebuah rencana
Dari serakahnya kota
Terlihat murung wajah pribumi
Terdengar langkah hewan bernyanyi
Di depan masjid, samping rumah wakil Pak Lurah
Tempat dulu kami bermain, mengisi cerahnya hari
Namun, sebentar lagi angkuh tembok pabrik berdiri
Satu per satu sahabat pergi dan takkan pernah kembali
Sampai saat tanah moyangku
Tersentuh sebuah rencana
Dari serakahnya kota
Terlihat murung wajah pribumi
Terdengar langkah hewan bernyanyi
@rangga_bayuu2943
Ga sesuai
@boobo851
@Rangga_ Bayuu294 bacod
@jonhsonexecuteofficial7313
@Rangga_ Bayuu294. Matamu
@hasyimkicux1920
@JONHSON EXECUTE OFFICIAL santai bang santai wkwkwkk
@Clown-99
Thanks
@UBREntertainment
terima kasih om iwan, telah mewakili kegundahan kami masyarakat menengah kebawah.. menyuarakan banyak hal lewat karya2 indahmu
@MVIKYA.M-nu4lw
Di kamar ini, aku dilahirkan
Di balai bambu buah tangan bapakku
Di rumah ini, aku dibesarkan
Dibelai mesra lentik jari Ibu
Nama dusunku Ujung Aspal Pondok Gede
Rimbun dan anggun, ramah senyum penghuni dusun
Kambing sembilan, motor tiga bapak punya
Ladang yang luas habis sudah s'bagai gantinya
Sampai saat tanah moyangku
Tersentuh sebuah rencana
Dari serakahnya kota
Terlihat murung wajah pribumi
Terdengar langkah hewan bernyanyi
Di depan masjid, samping rumah wakil Pak Lurah
Tempat dulu kami bermain, mengisi cerahnya hari
Namun, sebentar lagi angkuh tembok pabrik berdiri
Satu per satu sahabat pergi dan takkan pernah kembali
Sampai saat tanah moyangku
Tersentuh sebuah rencana
Dari serakahnya kota
Terlihat murung wajah pribumi
Terdengar langkah hewan bernyanyi
@adenoviyantopratama1033
Lagu ini real story, kenapa bisa dibilang gitu ? Karena di mana saat ini Ujung Aspal Pondok Gede terbilang sudah cukup padat, tanah kosong sedikit dijadikan perumahan, sawah semakin hilang, setiap hari macetnya minta ampun. Gue merasa bangga karena kampung halaman dijadikan sebuah masterpiece oleh legenda hidup Om Iwan Fals, gue kangen dengan Ujung Aspal Pondok Gede pada dibawah tahun 2010an di mana kali dan sawah dijadikan untuk teman bermain. Sehat selalu Om Iwan Falsβ€οΈ
@sidun83
Best of the best iwan fals hebat di segala bidang,musisi pencipta lagu,guru besar karate,Rumah tangganya harmonis romantis hingga sampe saat ini jauh dari gosip miring pokoknya bang iwan fals luar biasa ga ada duanya...